Pemikiran awal mengenai keberadaan kecerdasan buatan, dimulai sejak Alan Turing pada tahun 1950 melalui karya seminar dengan judul “Computing Machinery and Intelligence". Dari seminar itu, Alan Turing menghasilkan pertanyaan “apakah mesin dapat berpikir?”, sehingga dilakukan serangkaian pengujian yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan "Tes Turing", yakni seorang interogator manusia akan mencoba membedakan antara komputer dan respons teks manusia. Meskipun tes ini telah mengalami banyak pengawasan sejak dipublikasikan, tes ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah Artificial Intelligenci (AI) serta konsep yang sedang berlangsung dalam filsafat karena menggunakan ide-ide seputar linguistik.[1]
Kemudian, era Stuart Russell dan Peter Norvig melanjutkan, Artificial Intelligence: A Modern Approach. Russell dan Norvig menyebutkan tujuan sebagai berikut: “our potential goals or definitions of AI, which differentiates computer systems on the basis of rationality and thinking vs. acting:
Human approach:
Systems that think like humans
Systems that act like humans
Ideal approach:
Systems that think rationally
Systems that act rationally
Alan Turing’s definition would have fallen under the category of “systems that act like humans”.
Terjemahan bebas: empat tujuan potensial atau definisi AI, yang membedakan sistem komputer berdasarkan rasionalitas dan pemikiran vs. tindakan:
Pendekatan manusia:
Sistem yang berpikir seperti manusia
Sistem yang bertindak seperti manusia
Pendekatan ideal:
Sistem yang berpikir secara rasional
Sistem yang bertindak secara rasional
Definisi Alan Turing akan masuk ke dalam kategori "sistem yang bertindak seperti manusia".
Artificial Intelligenci (AI) mengacu pada simulasi kecerdasan manusia pada mesin yang di program untuk berpikir seperti manusia dan meniru tindakannya. Artificial Intelligenci (AI) memiliki kemampuan untuk merasionalisasi dan mengambil tindakan berdasarkan peluang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu.[2]
Dalam perkembangannya Artificial Intelligenci (AI) mengalami 3 (tiga) perubahan atau evolusi yaitu Artificial Narrow Intelligensi (ANI) yang merupakan bentuk dari Artificial Intelligenci (AI) lemah, kemudian Artificial General Intelligensi (AGI) atau lebih dikenal sebagai Artificial Intelligenci (AI) kuat yang memiliki kemampuan sebanding dengan manusia, dan yang terakhir adalah Artificial Super Intelligenci (ASI) merupakan bentuk Artificial Intelligenci (AI) yang secara sengaja diciptakan untuk melampui kemampuan manusia.[3]
Evolusi dari Artificial Intelligenci (AI) saat ini masih berada pada Artificial Intelligenci (AI) lemah yang mana salah satu contohnya ialah penggunaan teknologi Artificial Intelligenci (AI) dalam dunia otomotif yaitu mobil tanpa pengemudi yang mengunakan fitur autopilot yang dapat mengoperasikan mobil secara otomatis tanpa pengemudi.
Artificial Intelligenci (AI) dalam kehidupan manusia tidak hanya terbatas membantu memudahkan suatu bidang pekerjaan melainkan sampai kepada merubah pola hidup dan kebiasaan manusia. [4] Dalam perkembangannya Artificial Intelligenci (AI) telah merambah ke berbagai sektot kegiatan manusia dan dalam ini tidak kecuali meliputi bidang hukum, China merupakan negara yang dimulai sejak tahun 2017 telah menggunakan Artificial Intelligenci (AI) sebagai hakim dalam perkara digital, namun hal tersebut tentunya masih terbatas dan terus mengalami perkembangan.
Beberapa Negara yang menggunakan Artificial Intelligenci (AI) di bidang hukum adalah Belanda, Inggris. Di Belanda Artificial Intelligenci (AI) dimanfaatkan untuk menyediakan akses membuat peraturan dan perjanjian yang berlaku di Belanda. Di Inggris Artificial Intelligenci (AI) dimaanfaatkan untuk menberi bantuan hukum dan telah memberikan 1.000 bantuan hukum. Sedangkan di Indonesia, pemanfaatan Artificial Intelligenci (AI) di bidang hukum, masih terbatas, sebagai contoh situs Hukum Online yang memiliki Legal Intelligenci Assistant (LIA) mengunakan teknologi Artificial Intelligenci (AI), bertujuan untuk membantu pengguna dalam hal mendapatkan informasi yang berkaitan dengan hukum. [5]
Dengan adanya Artificial Intelligenci (AI) dalam suatu perkembangan teknologi tentunya hal tersebut tidak lepas dari suatu pengaturan hukum yang berlaku. Dalam melihat kemajuan teknologi yang dimiliki oleh Artificial Intelligenci (AI) yang dapat menjalankan pekerjaan manusia tentunya hal tersebut dapat menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindakan dan atau perbuatan yang dilakukannya, dimana Artificial Intelligenci (AI) merupakan kecerdasan buatan yang dibatasi oleh kode yang mendasari oleh kemampuannya untuk melakukan suatu perbuatan. Di Indonesia belum ada pengaturan secara khusus dan jelas mengatur terkait Artificial Intelligenci (AI) dan tentunya merupakan sebuah permasalahan hukum di kemudian hari jika nantinya teknologi Artificial Intelligenci (AI) melakukan perbuatan hukum yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. [6]
Hukum positif itu sendiri menurut Bagir Manan merupakan kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku, dan mengikat secara umum atau khusus, ditegakkan oleh atau melalui pemerinta atau pengadilan dalam negara indonesia. Deskripsi hukum positit yang demikian memberi pengertian bahwa hukum positif terdiri dari hukum tertulis dalam arti hukum yang sengaja diadakan oleh lembaga atau organ yang memiliki otoritas untuk membentuk hukum, dan hukum yang terbentuk dalam proses kehidupan masyarakat tanpa melalui penetapan oleh lembaga atau oragan yang memiliki otoritas untuk membentuk hukum. pendapat ini berbeda dengan pandangan John Austin yang menyatakan bahwa hukum positif terkait dengan hal ditetapkannya hukum oleh sebuah kekuasaan yang berwenang membentuk hukum. hukum positif merupakan perintah dari pembentuk undang-undang atau merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau memiliki kedaulatan. Sedangkan J.J.H. Bruggink berpendapat bahwa hukum positif merupakan produk hukum dari orang-orang yang berwenang untuk membuat hukum, mengenai orang-orang berwenang adalah para badan/pejabat tata usaha negara, termasuk di dalamnya badan pembentukan undang-undang (legislatif), badan kehakiman (yudikatif), dan badan pemerintahan (eksekutif). [7]
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa untuk disebut hukum positif diperlukan adanya lembaga pembentuk formal, mekanisme (prosedur) pembentukan secara formal, dan juga memiliki bentuk formal tertentu. Selain itu hukum positif memiliki karakter dan ciri sebagai berikut:
Ø Ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang,
Ø Berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diamati, bukan apa yang ada dalam alam ide,
Ø Merupakan hasil rasionalisasi, dan bukan berasal dari wahyu atau kekuasaan supranaturan,
Ø Memiliki keberadaan tertentu, yang lazim dikenal dengan keberlakuan hukum baik secara yuridis, evaluatif, maupun keberlakuan secara empiris,
Ø Memiliki bentuk, struktur, dan lembaga hukum tertentu,
Ø Memiliki tujuan yang ingin dicapai. [8]
Terkait pengaturan yang khusus terkait Artificial Intelligenci (AI), beberapa Negara sudah memiliki peraturan hukum. Sedangkan di Indonesia, saat ini pengaturan Teknologi hanya memiliki dua Undang-undang, yaitu :
- Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi Eletronik yang kemudian selanjutnya disebut ‘’UU ITE’’;
- Undang-undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi;
Dalam UU ITE, Artificial Intelligenci (AI) digolongkan sebagai sistem elektronik dan agen elektronik, berdasarkan kerakteristik Artificial Intelligenci (AI) dengan definisi dari sistem pada pengaturan UU ITE hal tersebut memiliki kesesuaian, yakni Artificial Intelligenci (AI) dapat mengumpulkan data, kemudian mengolahnya, bahkan sampai menganalisanya, dan dapat menampilkan serta mengirimkan suatu informasi elektronik hal tersebut.
Pengertian sistem elektronik menurut Pasal 1 angka 5 UU ITE yaitu : serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumpulkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan informasi elektronik. Dasar penggolongan Artificial Intelligenci (AI) sebagai agen elektronik tidak jauh berbeda dengan penggolongan Artificial Intelligenci (AI) sebagai sebuah sistem elektronik yang mana kesesuaian dari tindakan dan perbuatan Artificial Intelligenci (AI) dihubungkan dengan definisi Agen Elektronik pada Pasal 1 angka 8 UU ITE yaitu suatu perangkat dari sistem elektronik yang bertujuan untuk melakukan tindakan terhadap sistem elektronik secara otomatis yang berdasarkan perintah orang. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Dan Sistem Transaksi Elektronik (PP 71/2019) mendefinisikan Agen Elektronik pada pasal 1 angka 3 yaitu “perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang”. Artificial Intelligenci (AI) dalam pasal ini merupakan suatu teknologi yang dioperasikan oleh penyelenggara sistem elektronik, penyelenggara sistem elektronik menurut PP 71/2019 pasal 1 angka 4 adalah ‘’setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan atau keperluan pihak lain’’.
Prof. Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa sulit untuk memasukkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligenci (AI) ke dalam subjek hukum, hal ini dikarenakan subjek hukum di dalam hukum positif di Indonesia adalah perseorangan dan badan hukum. Artificial Intelligenci (AI) tidak bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang punya kecakapan hukum, manusia yang punya kewenangan, dan manusia yang mengemban hak dan kewajiban. Lebih lanjut Prof. Edward mengatakan bahwa subjek hukum baik perseorangan maupun badan hukum dapat memberikan pertanggung jawaban, memiliki kewenangan, serta memiliki status yang diberikan oleh hukum. Senada dengan prof. Erward, beberapa Ahli hukum di indonesia berpendapat bahwa Artificial Intelligenci (AI) tidak perlu memiliki status hukum yang sama dengan manusia tetapi mengusulkan bahwa Artificial Intelligenci (AI) harus diperlakukan sebagai objek hukum yang dipertanggung jawabkan oleh pembuat atau pengguna Artificial Intelligenci (AI). Pendapat ini memandang tanggung jawab hukum atas Artificial Intelligenci (AI) harus diletakkan pada pihak manusia yang mengembangkan atau menggunakan teknologi Artificial Intelligenci (AI) tersebut.
Berkaitan dengan kedudukan subjek hukum, Artificial Intelligenci (AI) tidak dapat disamakan seperti badan hukum, menurut Otto Von Gierke melalui teori organ, sejatinya badan hukum itu ialah realitas sesungguhnya suatu sifat dan kepribadian alam dari manusia dalam pergaulan hukumnya. Yang mana tentunya suatu badan hukum memiliki hak dan kewajiban dan dapat bertindak mandiri dalam setiap keputusan yang dikeluarkan sebagai subjek hukum. L. J. Van Aperdoor berpendapat bahwa untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum maka subjek hukum itu sendiri harus mempunyai kemampuan dalam memegang hak yang diberikan kepadanya. Maksudnya yaitu, Badan hukum memiliki maksud dan tujuan yang jelas dan tegas dalam pendiriannya dan terdapat ruang lingkup manusia, dan Artificial Intelligenci (AI) tidak bisa berdiri secara mandiri sebagaimana diketahui bahwa Artificial Intelligenci (AI) diatur dan diprogram manusia dan jika Artificial Intelligenci (AI) tersebut mengambil suatu keputusan yang dapat disamakan seperti manusia maka kesempurnaan dalam keputusan tersebut tidak dapat dipastikan jika tidak ada supremasi manusia dalam pengambilan keputusan karena Artificial Intelligenci (AI) tidak selalu terlepas dari kesalahan sistem.
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Bernstein, “What is Artificial Intelligence (AI)?,” in Machine Learning, 2022. doi: 10.4324/9781003297192-3.
[2] D. T. Rachmadie and ’ Supanto, “Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence Pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Udang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016,” Recidiv. J. Huk. Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, 2020, doi: 10.20961/recidive.v9i2.47400.
[3] M. D. Ashshidqi, “Proyeksi Dampak Teknologi Artificial General Intelligence Dan Tanggung Jawab Ilmuwan,” 2019.
[4] E. I. Supriyadi and D. B. Asih, “Implementasi Artificial Intelligence (Ai) Di Bidang Administrasi Publik Pada Era Revolusi Industri 4.0,” J. Rasi, 2021, doi: 10.52496/rasi.v2i2.62.
[5] A. Kurniawijaya, A. Yudityastri, and A. P. C. Zuama, “Pendayagunaan Artificial Intelligence Dalam Perancangan Kontrak Serta Dampaknya Bagi Sektor Hukum Di Indonesia,” Khatulistiwa Law Rev., 2021, doi: 10.24260/klr.v2i1.108.
[6] M. T. A. R. Haris and T. Tantimin, “Analisis Pertanggungjawaban Hukum Pidana Terhadap Pemanfaatan Artificial Intelligence Di Indonesia,” J. Komun. Huk., 2022, doi: 10.23887/jkh.v8i1.44408.
[7] S. Suhartono, “Hukum Positif Problematik Penerapan Dan Solusi Teoritiknya,” DiH J. Ilmu Huk., 2019, doi: 10.30996/dih.v15i2.2549.
[8] S. Hadi, “Hukum Positif Dan The Living Law (Eksistensi dan Keberlakuannya dalam Masyarakat),” DiH J. Ilmu Huk., 2018, doi: 10.30996/dih.v0i0.1588.
Penulis: Saifuddin, S.H., M.H.
0 Komentar